Friday, December 15, 2006

RAHASIA SUKSES SEORANG INNOVATOR

Oleh Ari Satriyo Wibowo
Grup Kino pimpinan Harry Sanusi terkenal sebagai kelompok usaha yang inovatif sesuai slogan perusahaannya "The Innovator". Kelompok ini terdiri dari empat perusahaan yakni PT KinoCare Era Kosmetindo (perawatan tubuh dan pembersih rumah tangga), PT KinoSentra Industrindo (makanan dan permen), PT KinoAid Indonesia (farmasi dan minuman) dan PT Duta Lestari Sentratama (distribusi). Menurut pria kelahiran Pontianak tahun 1967 itu, ia memulai usaha dengan menjadi distributor tunggal Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga produksi PT Sinde Budi Sentosa pada 1991. Koneksi ke produsen minuman pencegah panas dalam itu diperoleh dari ayahnya yang menjadi distributor produk tersebut di Pontianak. Kegiatan itu dirintisnya dengan bantuan modal dari sang ayah sambil menempuh kuliah di Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Jakarta.
Awalnya, PT Sinde Budi Sentosa berkeinginan menunjuk distributor tetapi tidak berani karena ada kemungkinan produk tersebut tidak laku.Ketika Harry Sanusi memperoleh tawaran untuk menjadi distributor maka dalam hitungan hanya semenit tawaran itu diterimanya. Tetapi, dengan catatan ia tidak boleh mengambil provisi apoteker. Pekerjaan sebagai distributor tunggal pun dijalaninya dari akhir 1991 sampai dengan akhir 1996. Perkembangan signifikan terjadi pada Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga dari barang yang tidak laku hingga menjadi produk laris setelah diiklankan melalui televisi via iklan murah meriah Spot Melati di TPI. Selanjutnya Harry hanya fokus pada produk tersebut. Ia pun cukup agresif dalam membuka cabang-cabang dan upaya pemasaran lainnya. Suatu saat akhir 1996, Harry berpendapat perusahaan distribusi yang hanya mengandalkan satu produk saja dalam kondisi yang berbahaya sebab suatu produk pasti memiliki siklus hidup tertentu. Sehingga Harry mulai melirik untuk mendistribusikan barang-barang lain untuk mendukung produk tersebut. Tetapi agaknya terjadi perbedaan persepsi dengan PT Sinde Budi Sentosa yang menghendaki agar Harry hanya menangani produk mereka saja sehingga akhirnya kontrak sebagai distributor diputus.
Dalam kondisi tidak menentu sekitar awal 1997 itu, Harry Sanusi sempat menarik beberapa prinsipal tetapi kemudian diputuskan untuk berhenti. Harry Sanusi kemudian memilih banting setir ke industri permen."Kekuatan kami didistribusi dan kami tidak mau menjual produk branded yang memiliki loyalitas tinggi.Kami memilih menjual produk low involvement, "tutur Harry Sanusi.Ia memulai terjun ke industri permen di kota Semarang karena di sana ia memiliki tanah kosong di daerah Terboyo dan Sayung. Waktu itu, Harry kebingungan untuk memilih jenis permen apa yang akan diproduksi. Pilihan akhirnya jatuh di produk soft candy yang pada waktu itu belum banyak pemainnya. Setelah itu, timbul pertanyaan soal flavour (cita rasa) dari permen? Pilihan kemudian jatuh pada rasa kopi karena soft candy dengan rasa kopi pada waktu itu belum ada dan Harry Sanusi melihat ada peluang untuk melakukan klaim di pasar bahwa perusahaannya telah melakukan inovasi dari hard candy ke soft candy. Dari situlah permen Kino diperkenalkan dan menuai sukses besar.Sukses permen Kino agaknya cukup terbantu oleh situasi krisis ekonomi yangmelanda Indonesia pada tahun 1998. Ketika itu harga Kopiko melambung luar biasa tinggi dan produsen Kopiko sengaja bertahan di harga tersebut karena merasa tidak memiliki saingan. "Pada waktu itulah kami masuk dengan harga lebih murah," ungkap Harry Sanusi menyingkap rahasia suksesnya.
Bisnis inti Grup Kino yang sesungguhnya adalah produk konsumsi (consumer goods). Pada 1999, Grup Kino memasuki bisnis toiletries dengan memperkenalkan merek Ovale. Dalam waktu setahun sejak diluncurkan, produk pembersih wajah miliknya itu mampu merebut 12 persen pangsa pasar pesaing yang bermain di kategori tersebut yakni Viva, Sari Ayu dan Pond's. Tahun kedua Ovale mampu tumbuh hingga 16,5 persen. Konsep produk Ovale ini memang tampak inovatif. Selama ini, pembersih wajah selalu menggunakan dua produk : krim pembersih (face cleansing cream) dan penyegar (face toner). Ovale tampil dengan konsep all in one yang menggabungkan pembersih dan penyegar sekaligus pelembab dalam satu kemasan. Adalah Harry Sanusi yang menggagas produk pembersih wajah dalam satu kemasan itu. Selama ini secara tradisional produk pembersih muka selalu terdiri dari rangkaian lotion pembersih muka (facial cleanser) dan penyegar muka. Terbersitlah gagasan menggabungkan dua produk itu agar memudahkan konsumen. Penggunaannya lebih nyaman dan praktis sementara hasil pemakaiannya lebih bersih dan tidak boros. Pematangan gagasan itu memakan waktu selama 12 bulan terhitung dari penemuan ide, pelaksanaan riset lapangan dan riset konsumen, pengembangan formulasi, uji stabilitas, pengembangan desain kemasan dan desain label, sampai dengan produk jadi yang siap dipasarkan kepada konsumen. Inovasi produk dilanjutkan dengan meluncurkan Ovale Maskulin, produk pembersih khusus laki-laki. Kemudian diikuti dengan cologne gel (2000), femine hygiene (2000), Cologne pria Master (2001) dan produk toiletries anak-anak Eskulin yang kemudian muncul dengan karakter kartun Disney (2003). Besar royalti pemakaian karakter kartun Disney sekitar 3-5% dari omset penjualan.Dengan melakukan co-branding dengan karakter kartun Disney dan Warner Bross untuk produk-produk kids grooming pada merek Eskulin dan B&B maka Grup Kino mampu menguasai 15 persen pangsa pasar dalam dua tahun.Grup Kino kemudian terjun ke minuman energy drink. Hal itu terjadi setelah Grup Kino mengakuisi merek Panther dari Sungai Putih Group yang dikenal sebagai produsen tepung beras Rose Brand. Karena Grup Kino ingin masuk ke segmen energy drink maka ada dua pilihan yakni masuk dalam kemasan sachet yang murah atau segmen botolan yang lebih mahal.
Mengapa bisa timbul kemasan sachet ? Hal itu karena pertimbangan harganya yang lebih murah.Tetapi, jatuh-jatuhnya pembeli sachet pun harus membeli air minum dalam kemasan sehingga harganya menjadi sekitar Rp 1500. Harry Sanusi kemudian menyimpulkan bahwa retail price yang tepat adalah Rp 1.500. Oleh karena itu, kemudian diciptakan Panther dalam kemasan botol plastik yang dilepas dengan harga Rp 1.000 ke pengecer untuk bisa dijual dengan harga Rp 1.500-Rp 2.000 ke konsumen dengan demikian harganya lebih murah dibandingkan pemain lainnya. Tetapi dengan hitungan biaya yang sangat tipis itu ketika terjadi gejolak harga maka harga murah yang semula dikonsepkan ternyata terlewati. Akhirnya, hitungannya menjadi tidak sesuai meski harga botol plastik hanya separuh dari harga botol gelas.Salah satu produk inovatif Grup Kino lainnya adalah tablet obat flu K-100 yang berisi 4 kaplet yakni 3 kaplet untuk pagi, siang, sore berwarna putih yang tidak menimbulkan kantuk dan 1 kaplet berwarna merah untuk malam hari yang membuat kantuk. Sayangnya produk ini dipastikan akan mengalami kegagalan di pasar. Hal itu disebabkan oleh perilaku konsumen di Indonesia yang tidak teratur dalam mengonsumsi obat. Misalnya, tablet yang dalam sehari harus dikonsumsi 4 kali ternyata hanya dikonsumsi dua kali saja. Selain itu,masih ada kendala perilaku penjual obat eceran dengan cara digunting-gunting dan kecenderungan konsumen memilih kaplet yang berwarna merah sehingga pemakaian kaplet menjadi kacau yang seharusnya malam diminum pagi dan seterusnya. Sementara penjual juga tidak mau rugi bila ada kaplet yang tidak laku. Sebab dalam persepsi orang Indonesia obat flu yang manjur adalah bila memiliki efek mengantuk. "Kami keluarkan K-100 karena semula kami yakin dengan konsep yang dibawa," Harry beralasan.
Produk inovatif lainnya adalah Kino Sweat. Minuman isotonik bersifat tawar yang rasanya "asin tidak asin, manis tidak manis." Grup Kino masuk ke kategori minuman isotonik yang dikuasai Pocari Sweat dalam bentuk kemasan sachet. Tingkat konsumsi minuman isotonik masih sangat rendah sehingga masih ada peluang untuk meningkatkan frekuensi minumnya. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa akhirnya orang akan memilih minuman isotonik dengan flavour yang lebih enak. "Bagaimana pun Kino Sweat bukan minuman obat sehingga harus dapat dinikmati pula oleh konsumen," kata Harry.Menurut Harry Sanusi, anggaran biaya peluncuran produk baru untuk produk low involvement seperti permen membutuhkan biaya antara Rp 5 miliar - Rp 6 miliar. Sedangkan, untuk produk toiletries perawatan tubuh saat ini diperlukan biaya paling sedikit Rp 20 miliar.Harry mencontohkan total biaya inovasi Ovale yang waktu itu masih Rp 9,4 miliar. Alokasi dananya terdiri dari pembelian mesin baru (Rp 1,5 miliar), mould kemasan (Rp 500 juta), pengembangan produk (Rp 50 juta), investasi merek berupa produksi TVC (Rp 350 juta), promosi iklan TV dan media cetak(Rp 5,5 miliar), riset (Rp 55 juta), pendaftaran produk (Rp 200 juta) serta tenaga pemasaran dan armada penjualan (Rp 1,25 miliar).
Apa syarat bagi sebuah produk agar sukses di pasar? Menurut Harry produk akan sukses apabila mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Pada setiap waktu selalu terjadi perubahan ekspektasi konsumen yang harus ditangkap produsen dengan tepat. Untuk itu diperlukan riset konsumen yang komprehensif. Ada faktor-faktor yang tidak terbaca yang harus diantisipasi. Semua tergantung pada industri dan jenis produknya berbeda-beda. Sehebat apapun pengalaman seseorang pasti pernah mengalami kegagalan sebab ada hal-hal yang masih terlewatkan. Harry Sanusi mengaku mengembangkan produk baik sebagai pioneer maupun follower. Kino Sweat muncul sebagai follower dengan perbaikan dari segi kemasan dalam bentuk sachet. Demikian pula, Segar Sari yang berupaya menembus pasar minuman jeruk serbuk yang dikuasai Nutrisari, Marimas dan Jas Jus. Harry melakukan inovasi dengan menaikkan gramatur kandungan sachet. Bila kemasan lain berisi 10 gram maka Segar Sari berisi 12 gram. Meski perbedaan hanya kecil yakni 2 gram tetapi rasa Segar Sari menjadi jauh lebih enak. Inovasi lainnya dalam hal kemasan pembungkus yakni tidak menggunakan dos-dos kecil lagi tetapi memasukkan 100 sachet dalam 1 container plastik sehingga container itu masih bisa dijual lagi oleh si pemilik toko. "Memang cost-nya lebih tinggi tetapi kami bisa menghemat dari sisi iklan," kata Harry. Harry tampaknya memainkan semua peluru marketing mix yang dimiliki mulai dari product, price, place dan promotion.Produk Kino saat ini sudah merambah 15 negara yakni negara-negara ASEAN, Afganistan, Pakistan, Korea, Rusia, Afrika dan negara-negara Timur Tengah. Sejak 2003 Grup Kino melakukan ekspansi ke Filipina dengan mendirikan perusahaan patungan Kino Consumer Philiphine Inc.Harry Sanusi semakin mumpuni dengan portofolio produk yang dimilikinya.
Bila produk-produk itu dapat dimasukkan dalam tiga golongan yakni produk sukses, dalam perjuangan dan gagal maka petanya dapat digambarkan sebagai berikut :
Produk Sukses
1. Kino Sweat
2. Ovale
3. Permen Kino
4. Master
5. Resik-V (cairan pembersih bagian rahasia wanita )
6. Absolut (pembersih wanita)
7. Eskulin (kids grooming)
8. B&B (kids krooming)
9. Sleek (household cleaning)
Produk masih dalam perjuangan di pasar
1. Panther, energy drink
2. Instan, hand sanitizer / cairan pembersih tangan anti bakteri
Produk gagal
1. K-100, obat flu 4 kaplet (3 putih, 1 merah)
2. Extra White (pemutih wajah) --- akibat salah produksi.
Suatu produk dianggap gagal Harry Sanusi bila dalam waktu 3-5 tahun tidak mampu memberikan keuntungan bagi perusahaan.***

ELLIPS PRODUK BARU GRUP KINO

Sejak terjun di bisnis kosmetik lewat PT Kinocare Era Kosmetindo (KEK), Harry memang selalu meluncurkan produk-produk inovatif. Sebut saja Ovale, yang menjadi trend-setter produk pembersih sekaligus penyegar wajah. Begitu juga Eskulin yang menjadi pionir produk cologne dalam bentuk gel.
“Kino selalu membuat merek yang inovatif. Harry berani dalam memunculkan produk, itulah kelebihan Harry,” demikian kata Yuswohady dari Markplus. Dan, menutup tahun 2005, Harry kembali meluncurkan produk paling gres: hair vitamin. Dengan mengusung merek Ellips, Harry menawarkan produk vitamin rambut dalam bentuk kapsul. Selama ini, produk perawatan rambut – termasuk vitamin rambut – tersaji dalam bentuk cairan. Harry menawarkan hair vitamin yang terdiri dari dua varian, yakni kemasan blister berisi 6 kapsul yang dibanderol Rp 4.500/blister, dan kemasan jar berisi 50 kapsul seharga Rp 45 ribu/jar. Ada dua macam produk Ellips yaitu: Ellips kapsul orange (aloe vera) dan kapsul pink (jojoba oil). Tampilan Ellips ini cukup eye catching. Bentuk kapsulnya kalau dilihat dari atas, mirip kura-kura tanpa kaki. Sekali puntir kepalanya maka cairan vitaminnya langsung keluar dan bisa langsung dioleskan ke rambut. Memuntir kepalanya juga cukup gampang karena kapsul Ellips ini lunak sekali.
Diakui Harry, sejatinya produk Ellips tidak orisinal idenya sendiri. Gagasan meluncurkan produk hair vitamin berbentuk kapsul ini “meniru” produk serupa keluaran Cina. Menurut Harry, ide menelurkan Ellips muncul sekitar setahun yang lalu dari bincang-bincang santai di kantor. “Saat itu kami mengobrol, produk Cina saja bisa laku, kenapa kita tidak bikin dengan branding sendiri,” ucap Direktur Utama KEK itu. Tak membuang waktu, ide tersebut langsung ditembuskan ke bagian pemasaran untuk dipelajari lagi pasar ceruk (niche market)-nya dan kebutuhan dari konsumen. Kemudian ke bagian riset dan pengembangan (R&D) untuk diterjemahkan ke dalam bentuk produk. “Jadilah Ellips yang sekarang ini,” imbuhnya.Keunggulan Ellips, diungkapkan Harry, terletak pada kemasan yang terjaga higienitas, legalitas dan kualitasnya. “Kalau buatan Cina dijual per satuan, higienitasnya juga tidak terjamin begitu pula legalitasnya,” kata Harry.
Terpenting, tambahnya, citra perusahaan yang sudah dikenal sebagai perusahaan yang mengkhususkan pada produk perawatan yang berkualitas dalam kemasan yang cantik dan menarik. Harry mengatakan, Ellips bisa menembus pasar hair vitamin yang sebelumnya dikuasai produk Cina, karena Kino mencari pasar ceruk pada kualitas dan finishing touch-nya. “Kami buat Ellips menarik, kami poles kemasannya supaya lebih cantik. Kue pasarnya pada branding dan kemasan kami,” ujar Harry.
Ekspansi KEK di hair vitamin, menurut Harry, karena ia melihat kebutuhan wanita akan produk perawatan rambut ini cukup potensial. Apalagi wanita zaman sekarang sering menata rambut mereka mengikuti tren rambut. “Kami melihat pasar perawatan rambut sangat potensial dan belum ada pemain yang fokus. Jadi kami ambil kesempatan ini untuk menjadi pemain pertama kategori hair vitamin untuk mass market,” Harry menjelaskan. Ellips yang bahan-bahannya masih 100% impor ini memang sengaja diciptakan untuk pasar massal.
Menurut Harry, pihaknya masih impor bahan-bahannya karena di Indonesia belum ada bahan yang kualitasnya sesuai dengan yang dinginkan. Untuk membuat produknya sendiri, dikerjakan di pabrik KEK, Sukabumi. Distribusinya ditargetkan bisa menjangkau pasar di seluruh Nusantara. Diakuinya, memang belum semua channel distribusi terjangkau karena Ellips masih sangat baru, butuh waktu untuk masuk ke semua channel pasar. “Yang pasti kami sudah masuk ke supermarket, salon-salon, dan toko-toko kelontong,” katanya. Untuk pasar modern, produk Ellips sudah bisa dijumpai di Carrefour, Hero, Indomaret, Alfamart, dan Hypermarket. “Segmen yang kami bidik untuk produk ini menengah-bawah dan kami tetap akan fokus ke pasar ini,” ujarnya. Menurut Harry, kalau pun dalam perkembangannya ke depan ada peluang untuk merambah pasar premium, ia akan menggarapnya dengan merek yang berbeda.
Untuk pendekatan komunikasinya, Harry memilih menempuh jalur konservatif, yakni beriklan di media televisi. Sejak akhir Januari lalu, program promosi ini mulai digeber. Iklan Ellips sendiri, lanjut Harry, dibuat standar. “Masih perlu dibenahi,” katanya. Hanya saja, mengingat respons pasar yang cukup baik, pihaknya masih akan melihat perkembangan hingga 6 bulan ke depan untuk memutuskan akankah membuat iklan baru atau tidak. Selama tiga bulan ini, KEK telah menghabiskan anggaran untuk iklan sebesar Rp 3 miliar. Harry optimistis produk baru dari Kino ini akan bisa melejit. Pasalnya, ia melihat respons yang menggembirakan dari user. “Sudah terasa switching user dari memakai hair vitamin produk Cina ke Ellips,” katanya.
Selama tiga bulan Ellips di pasaran, Bandung tercatat sebagai kota dengan permintaan tertinggi. “Mungkin karena Bandung banyak wanitanya… haha ...,” ujar Harry berseloroh. Toh, diakuinya, penjualan Ellips belum memenuhi harapannya. Ia menargetkan bisa menguasai 5% pangsa pasar kategori sampo saja sudah luar biasa. “Kami masih butuh waktu untuk mengedukasi pasar. Yang pasti tingkat keberhasilan tidak bisa dinilai dalam waktu tiga bulan, walaupun kami menilai respons untuk Ellips sudah cukup baik,” tutur Harry.
Siwo menilai secara inovasi produk, hair vitamin keluaran KEK ini cukup inovatif. Hanya saja, dari sisi ketersediaan barang, produk ini masih sulit didapat. “Saya sempat mencari tahu, ternyata stok kurang, berarti distribusinya kurang bagus,” ungkapnya. Sebagai merek baru, menurutnya, Ellips belum bisa dikatakan sebagai pemenang dari produk Cina yang sejenis. Akan tetapi, sebagai merek pertama pasar hair vitamin, Ellips bisa menjadi pionir layaknya Aqua untuk kategori AMDK. Menurut Siwo, ada tiga skenario yang akan diduduki Kino dalam membangun merek Ellips. Pertama, kalau Kino gagal mengedukasi pasar, Ellips akan terpental dari pasar. Kedua, Ellips bisa berada di posisi stabil. “Lumayan nyaman, tapi pasar tidak bertumbuh,” ungkapnya. Ketiga, kalau Ellips berhasil mengedukasi pasar, pasar akan bertumbuh dan pemain baru akan muncul. Kalau Ellips berhasil berada di skenario yang ketiga, lanjut Siwo, bakal muncul dua skenario lagi. “Apakah Ellips menjadi pionir, atau Ellips akan digantikan oleh pemain lain. Inilah tantangan terbesar Kino, membangun merek Ellips sebagai hair vitamin pertama dengan merek untuk pasar massal,” Siwo menguraikan.
Siwo mengingatkan supaya Harry menguatkan mereknya dulu. Pasalnya, ia melihat KEK terkadang sangat agresif membangun merek, sehingga belum sampai tahap menguatkan merek, sudah langsung mengekstensi produknya. “Contohnya, kasus Ovale yang diekstensi Ovale for man,” kata Siwo.
Rina Suci dan Henni T. Soelaeman dari Majalah SWA